Kartunis Indonesia Melukis?


Oleh Darminto M Sudarmo

Bukti bahwa kartunis Indonesia, khususnya para kartunis lepas, gelisah, sudah terlihat sejak tahun 1980-an. Maka ketika terjadi “Pertemuan Kartunis Nasional” yang bertempat di Balai Wartawan – Semarang, Jawa Tengah (sekarang: Hotel Ciputra-Simpang Lima) pada 1984-an, dengan agenda besar yang diusung: upaya pemberdayaan kartunis terkait dengan posisinya sebagai profesi, mudah ditebak apa yang terjadi kemudian: kartunis Indonesia “menggugat”. Menggugat pada siapa? Tentu saja menggugat pada pihak pemegang otoritas rubrik kartun di media atau redaktur penjaga gawang, supaya porsi pemuatan untuk karya kartun lebih diseriusi (kuantitasnya, diperbanyak). Salah satu rekomendasi yang dicuatkan saat itu adalah mengimbau media massa (koran dan majalah) memberikan peluang selayak-layaknya lewat penyediaan rubrik yang di dalamnya memuat gambar kartun sebagai menu rutin media tersebut.

Apakah imbauan dari para kartunis tersebut mendapatkan sambutan dari media cetak yang ada saat itu? Secara langsung, tidak. Namun bila dicermati secara bertahap, ada progresi yang terlihat. Bahkan secara kasar dapat dipersentasekan: media massa yang memuat kartun kurang lebih 70% dan yang tidak memuat sekitar 20%, sedangkan yang 10% kadang memuat kadang tidak.



Paradoks dengan fakta di atas, sepuluh tahun terakhir (sejak reformasi bergulir), tumbuh begitu banyak dan beraneka media cetak. Ada yang sekali terbit selanjutnya tidak ada kabarnya, alias gim. Ada pula yang terbit tiga/enam bulan sekali. Dan yang tak kalah menghebohkan, khususnya media cetak daerah: baru terbit kalau ada pengangkatan pejabat baru. Ibarat kata, media massa di era reformasi, banyak yang berguguran; itu terjadi lantaran tidak disambut baik oleh konsumen; namun tak kurang pula yang dapat bertahan dan tumbuh menjadi media cetak cukup tangguh dan membayangi beberapa media cetak yang tergolong establish. Dan kondisi yang terjadi saat ini bila dihubungkan dengan uraian di atas dapat ditemukan perbandingan penyediaan rubrik kartun/humor di media dimaksud dengan komposisi kuang lebih: 30% media yang konsisten dan sustain menyediakan rubrik kartun; 60%, media yang sama sekali tidak menyediakan rubrik kartun, dan 10% yang kadang memuat/tidak memuat kartun.

Orientasi Baru
Simpul persoalan sederhana yang dapat kita tarik korelasinya adalah: pada tahun 1980-an saja sudah ada kegelisahan kartunis semacam itu, apalagi pada tahun-tahun terakhir ini. Kegelisahan itu memang layak muncul terutama bila dikaitkan dengan posisi kartunis sebagai profesi. Tidak heran, bila kegelisahan yang semula lebih tertuju pada faktor media (gambar kartun di kertas/grafis) dan pilihan publikasi (koran atau majalah) namun karena secara obyektif tak banyak yang dapat diharapkan lagi, kini tumbuh wacana baru, katakanlah semacam gugatan, bahwa kartunis dalam berekspresi tak seharusnya bergantung pada media cetak semata. Perlu ada upaya lain dan orientasi baru.

Pilihan media ekspresi nya pun akhirnya dibentangkan selebar mungkin. Dari animasi, buku, batik, kanvas (cartoon painting/oil), keramik, sablon (t-shirt, mug, tas, dompet dan lain-ain), kartu ucapan, hingga ke alat bantu presentasi (slide show, jpeg, dan lain-lainnya). Pilihan-pilihan media ini ada yang sebagian lebih cocok ke ranah industri (produk massal), ada pula (tidak banyak) yang cocok untuk diaktualisasikan lewat sentuhan personal. Salah satunya adalah penggunaan media kanvas dalam bentuk lukisan kartun (cartoon painting/oil). Kalau pilihan ini bermotifkan “logis’-nya prospek sebagaimana yang terjadi pada seni rupa (seni lukis), wallahu alam. Istilah lukisan kartun atau cartoon painting/oil ini sendiri sebenarnya masih sangat spekulatif. Dalam literatur seni kartun, belum ada yang secara eksplisit menyebut istilah cartoon painting atau cartoon oil, dalam konteks aliran seni kartun atau kredo. Bahkan satiris Inggris, John Leech (1817-1864), yang di kemudian hari karya-karyanya banyak digolongkan pengamat sebagai bercorak kartunal/karikatural, mulanya lebih dikenal sebagai karikaturis (pelukis wajah yang berisi sindiran) dan ilustrator. Salah satu karya karikaturnya yang sangat popular berjudul Substance and Shadow dimuat di Majalah Punch pada 1843, majalah humor terkemuka pada zamannya yang terbit di Inggris. Sebagai illustrator, karya Leech juga menghiasi buku Charles Dickens; salah satu di antaranya A Christmas Carol.

Masih di tahun 1843, pelukis Inggris John Callcott Horsley (29 Januari 1817-18 Oktober 1903) dikenal pula sebagai pencipta Kartu Natal pertama di dunia yang ilustrasi kartunya mengundang kontroversi karena menggambarkan anak kecil sedang meminum anggur, lewat karyanya yang berjudul St Augustine Preaching memenangi sayembara Westminster Hall. Karya lukisnya ini disebut orang sebagai karya kartun. Itu terjadi lantaran muatan sindiriannya yang sangat kuat. Setahun kemudian Horsley terpilih sebagai salah satu dari enam pelukis yang ditugaskan untuk membuat lukisan dinding di Gedung Parlemen Inggris. Ada pertanyaan yang muncul, mengapa (bahkan) para pelukis pun berkecenderungan untuk menyindir atau mengkritik setiap berurusan dengan Parlemen Inggris ketika itu? Jangan-jangan jawabannya performance Parlemen Inggris ketika itu tak jauh berbeda dengan parlemen kita di zaman Orde Baru atau sepuluh tahun terakhir ini?

Kartunis Melukis
Satu hal yang menarik untuk disimak, berkaitan dengan semangat kartunis Indonesia yang juga mau melukis selain mengartun rutin di media massa (cetak) sepertinya secara sadar atau tidak sadar mereka sedang berupaya “back to basic”. Bagaimana tidak? Sebelum seni gambar/grafis lucu yang bernama kartun ditemukan atau disepakati termoniloginya, sebenarnya sebagian pelukis Eropa khususnya, telah melakukannya. Mereka melukis (tentu dengan media dan alat lukis sebagaimana yang kita pahami saat ini) baik wajah seseorang (dikenal masyarakat luas) atau peristiwa tertentu yang menjadi pusat perhatian masyarakat luas, dengan menyelipkan sindiran atau kritik di dalamnya. Apakah itu artinya para kartunis Indonesia akan melakukan re-aktualisasi warisan “seni” terdahulu karena “gawat”-nya media cetak yang mulai terancam eksistensinya atau ada strategi lain yang diam-diam telah mereka siapkan?

Namun bila dicermati lebih arif, sebenarnya “gerakan” yang bertumpu pada titik gelisah para kartunis Indonesia itu lebih tampak sebagai interval budaya yang penuh tantangan baru. Berubahnya disiplin dari pensil, pena/tinta, cat air dan kertas menuju kanvas, kuas, cat minyak/akrilik adalah revolusi media dan bahan; khususnya bagi yang baru pertama kali memulainya. Oleh karena itu, pilihan yang cukup ekstrem ini bukannya tanpa risiko. Pertanyaannya, benarkah ada kartunis yang belum gaul sama sekali pada media dan bahan seni lukis? Bukankah tak kurang pula pelukis Indonesia yang juga cukup mahir bekerja dan berpikir bak seorang kartunis? Lihat saja lukisan-lukisan karya Heri Dono, Eddie Hara, Erica, dan I Nyoman Masriadi, sekadar menyebut nama. Bukankah karya-karya mereka juga cukup mengandung “ruh” kartun atau setidaknya bernuansa kritik dan sedikit berbumbu humor.

Sekali layar terkembang, pantang untuk surut kembali. Begitu setidaknya semangat yang merayapi sejumlah kartunis Indonesia yang melakukan uji coba menampilkan karyanya di Bentara Budaya Yogyakarta pada 12-22 Agustus 2010 silam. Dan menurut kritikus seni rupa Kuss Indarto masih banyak kelemahan dalam pengkurasian maupun kualitas kekaryaannya itu sendiri. Kegagalan itu tentu bukan akhir segala-galanya. Keinginan sejumlah kartunis untuk melakukan “piknik” atau penjelajahan media, di luar media lazim yang biasa mereka lakukan bukan sesuatu yang menyimpang atau menyalahi adat. Para kartunis juga punya hak untuk melakukan napak tilas estetika (karena nenek moyang mereka juga para pelukis bengal atau badung), sambil menjaring “mimpi” tentang kemungkinan peluang menjajaki “pasar” seni rupa yang selama ini belum menyentuh karya seni kartun secara terbuka dan legitimated.

Darminto M Sudarmo
, peminat seni kartun dan seni lukis.

This entry was posted by Admin. Bookmark the permalink.
Powered by Blogger.